MAKALAH AL
– JARH WA AT-TA’DIL
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Study Hadist II
Dosen Pembimbing:
Mahbub
junaidi M.THI
Disusun
Oleh :
1.
M. Musthofa (14110021)
2.
Munawaroh
3.
Dwi Susanti
4.
Firda Purnama Sari
(
Semester III Pagi )
UNIVERSITAS ISLAM DARUL’ULUM
LAMONGAN
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015
Kata Pengantar
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulilah, puji syukur kehadirat Allah swt.
karena atas berkat ,hidayah, dan
karunianya sehingga makalah tentang “Al Jarh
Wa At-Ta’dil” dapat terselesaikan
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabiullah
Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu
tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Study Hadist. Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada Bpk Mahbub Junaidi M.Td.I selaku dosen pengampu mata
kuliah Psikologi Perkembangan dan
kepada pihak-pihak yang memberikan motivasi dalam upaya penyelesaian makalah
ini. Namun demikian, dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa tidak
menutup kemungkinan dalam makalah ini masih terdapat kekurangan-kekuranganya,
untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran bagi pihak-pihak yang
mempelajari makalah ini demi keberhasilan yang lebih baik lagi untuk waktu yang
akan datang. Karena penulis menyadari bahwa segala kekurangan itu datangnya
dari kita sendiri sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan jika
terdapat kelebihan, semua itu tentu karena kehendak Allah SWT. Akhirnya penulis
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua khususnya penulis. Aamiin.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Lamongan , 21 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR iii
DAFTAR
ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Apa Pengertian Al Jarh Wa At-Ta’dil 2
B. Manfaat ilmu Al Jarh Wa At-Ta’dil ................................
C. Metode Mengetahui keadilan dan kecacatan
rawi....................................
D. Syarat – Syarat bagi orang ynag menta’dil................................................ ....
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ............................................................................................... 11
B. Kritik dan Saran.................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 12
BAB I
A. Latar Belakang
Bila
melihat fenomena jarh dan ta'dil saat ini, sungguh penulis sangat
prihatin.Orang begitu mudah menjarh orang lain tanpa didasari ilmu. Baik
alasannya,karena beda golongan, pemahaman maupun takut tersaingi. Dengan
demikian pihak yang dijarh sangat dirugikan. Kenapa? Karena dengan ia dijarh,
ia dijauhi sahabat-sahabatnya ataupun murid-muridnya, bahka ta'lim pun yang
biasa ia bisa bubar.
Selain itu
dia (yang suka menjarh) belum tentu terpenuhi syarat-syarat sebagai penjarh.
Atau bahkan dalam dirinya juga terdapat perbuatan yang menjadikannya
ia dijarh. Bagaimana ia akan menjarh orang lain sedang dalam dirinya terdapat
perbuatan yang menjadikan ia dijarh?Kalau memang orang yang dijarh memang
melakukan perbuatan yang menyebabkan ia dijarh sudahkah ia klarifikasi? Kalau
sudah, sudah kah ia menasehatinya, agar ia bertaubat? Bila hal ini dilakukan
sudah barang tentu tidak akan terjadi jarh secara serampangan.
Sehingga
dengan makalah ini penulis ingin menjelaskan kepada siapa saja yang
menginginkan pengetahuan seputar pembasan Al Jarh dan At Ta'dil. Diharapkan
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
B. Rumusan Masalah
ü Apa Pengertian Al
Jarh Wa At-Ta’dil ?
ü Manfaat ilmu Al Jarh Wa At-Ta’dil ?
ü Metode Mengetahui keadilan dan kecacatan
rawi ?
ü Syarat – Syarat bagi orang ynag menta’dil ?
C. Tujuan
·
Mengetahui Pengertian Al Jarh Wa At-Ta’dil
·
Mengetahui Manfaat ilmu Al Jarh Wa At-Ta’dil
·
Manfaat ilmu Al Jarh Wa At-Ta’dil
·
Mengetahui Beberapa Syarat – Syarat bagi orang yang menta’dil
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al
Jarh Wa At-Ta’dil
Kalimat Al Jarh Wa At-Ta’dil merupakan salah satu dari kesatuan
pengertian, yang terdiri dari dua kata , yaitu ‘al-jarh’ dan al-adl’,. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk
masdar dari kata (جرح - يجرح) yang berarti ‘seseorang membuat luka pada tubuh orang
lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu’ .[1]
Secara terminolgi, al-jarh berarti
munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau
mencacatnya hafalan dan kekuatan ingatanya. Yang mengakibatkan gugur riwayatnya
atau lemah riwayatnya atau bahkan ditolak riwayatnya , adapun “al-tajrih” menyifati seorang perawi dengan
sifat-siat yang membawa konsekkuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak
diterima.
Kemudian Secara Bahasa At Ta'dil, mashdar dari dari kata
Addala-Yu'adilu- Ta'diilan, bila dikatakan 'Addala Asy Syai maksudnya
melaksanakannya atau menyamakannya.[2].
Secara Istilah Pengertian secara istilahi yaitu: Pengertian
Al 'Adlu
Al
'Adlu adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agamanya
dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima berita
dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan
hadits.[3]
Lafadz
Al – jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang perawi yang mencacatkan
keadilan dan kehapalanya. Men – jarh atau men – tajrih seorang perawi berarti
mensifati seorang rawi dengansifat – sifat yang dapat menyebabkan kelemahan dan
tertolak apa yang di riwayatkan.
Adapun rawi yang dikatakan ‘adil adalah seorang yang dapat
mengadilkan sifat – sifat yang menodai
agama dan keperiwaannya. Memberi sifat – sifat yang terpuji kepada rawi
sehingga apa yang diriwayatkannya dapat di terima dan disebut men – ta’dil –
kanya.[4]
Berdasarkan pengertian yang dikemukaka oleh beberapa ahli,
ilmu al – jarh wa at – ta’dil merupan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu
hadis yang membahas cacat atau adilya seorang yang meriwayatkan hadis yang
berpengaruh besar terhadap klarifakasi hadisnya.
B. Manfaat Ilmu Al Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al Jarh Wa At-Ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekal.
Apabila seorang rawi dinilai oleh seorang para ahli sebagai seorang rawi yang
cacat ,periwayatanya harus ditolak, dan apabila seorang dipuji sebagai seorang
yang adil, niscaya periwayatanya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadis terpenuhi.
Kalau
ilmu Al Jarh Wa At-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksam,
paling tidak akan muncul penilaian bahwa seluruh periwayatan hadis nilainya
sama. Padahal perjalanan hadis semenjak nabi Muhammad SAW/ sampai dibukukan
mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi
yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist perlu
mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian politik,masalah
ekonomi dan masalah – masalah yang lainya mereka kaitkan
dengan hadis, akibatnya, mereka meriwayatkan sesuatu hadis yang disandarkan
oleh Rasulullah SAW, padahal periwayatnya adalah periwayat bohong, yang membuat
mereka buat kepentingan golonganya.
Jika
kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan
mencampuradukkan hadis yang benar – benar dari rasulullah dengan hadis palsu
(maudhu’).
Dengan
mengetahui Al-jarh wa at-ta’dil, kita juga bisa menyeleksi mana hadis
yang benar – benar shahih dan man hadis yang hasan,
atupun man hadis yang dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari segi
matanya.[5]
C. Metode Untuk Mengetahui Keadilan dan
Kecacatan Rawi dan Masalah – Masalahnya
Keadilan seorang perawi dapat diketahui dengan salh satu
dari kedua ketetapan.
Pertama,
dengan mempopulerkan dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang
yang adil (bisy-suhrah) . seperti terkenalnya Sufyan Ats – Tsauri,
Syu’ban bin Al Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hambal dan sebagainya. Oleh
karena itu , mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil dikalangan para ahli
ilmusehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadialanya[6].
Kedua, dengan pujian dari
orang yang adil (Tazkiyah) , yaitu diterapkan sebagai rawi yang adil oleh orang
yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu sebelum terkenalsebagai
perawi yang adil.
Penetapan keadial seorang rawi denagn jalan tazkiyahini
dapat dilakukan oleh:
a.
Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan
banyakya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat
penerimaan hadis.
b.
Setiap orang yang dapat diterima periwayatanya , baik laki –
laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selam mengetahui
sebab – sebab yang mendapat mengadilkanya.
Penetapan tentang kecacatan seorang
perawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan , yaitu
a.
Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dan keabanya,
seorang rawi ynag sudah dikenal yang sebagi orang yang fasik atau pendusta di
kalangan masyarakat, tidak perlu dipersoalkan , cukup kemasyuran itu sebagai
jalan untuk menetapkan kecacatanya.
b.
Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yanga adil , yang
telah mengetahui sebab – sebab dia cacat, demikian ketetapan yang dipegang
muhadistin, sedangakn menurut para fuqoha, sekurang – kurangnya harus tajrih
oleh dua orang laki – laki yamg adil.
Sedangkan
untuk perselisihan dalam penentuan mengenai jumlah orang yang dipandang cukup
untuk mentakdilkan dan mentajrihkan rawi, sebagi berikut. :
a. Minimal dua orang , baik dalam soal
syahadahmapun soal riwayah, demikian pendapat dari fuqoha nadianah.
b. Cukup seoran saja, dalam soal
riwayah bukan dalam soal syahadah.
Sebab, bilangan tersebut tidak
menjadi syaratdalam peneriamaan hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam
men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi, berlain dalam soal syahadah.
c. Cukup seorang saja, baik dalam soal
riwayah maupun soal syahadah.
Adapun kalau ke-adalah-anya itu
diperoleh atas dasar pujian dari oranag – orang yang banyak atau dimasyhur kan
oleh ahli – ahli lmu, tidak diperlukan bagi orang yang men-ta’dil-kan (mua’dil),
seperti imam malik, Asy – Syafi’I, Ahamad Bin Hambal, Al – Laits, Ibnu Mubarak,
Syu’aibah, Ishak, dan lain – lain.[7]
D. Syarat – Syarat Bagi Orang Yang
Men-ta’dil-kan dan Men-Tarjih-kan
Kita tidak
boleh meneriam begitu saja penilain seorang ulama’ terhadap ulama’ lainya,
melainkan harus jelas dulu sebab- sebab penilain tersebut, terkadang seorang
yang menggangap orang lain cacat, malah ia sendiri yang cacat, oleh sebab itu,
kita tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang
mensetujuinya.
Beranjak
dari sikap selektif terhadap sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang
men-ta’dil-kan (muaddil) dan orang yang menta’dilkan dan orang yang
men-tajrih-kan (jarih) yaitu :
A.
Berilmu pengetahuan
B.
Taqwa
C.
Wara’
D.
Jujur
E.
Menjauhui fanatic golongan
F.
Menjauhi sebab – sebab yang men-ta’dil-kan dan
men-tajrih-kan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al Jarh Wa At-Ta’dil berarti munculnya suatu sifat dalam
diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatnya hafalan dan kekuatan
ingatanya. Yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau
bahkan ditolak riwayatnya , adapun “al-tajrih” menyifati seorang perawi dengan
sifat-siat yang membawa konsekkuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak
diterima.
Ilmu
Al Jarh
Wa At-Ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekal.
Apabila seorang rawi dinilai oleh seorang para ahli sebagai seorang rawi yang
cacat ,periwayatanya harus ditolak, dan apabila seorang dipuji sebagai seorang
yang adil, niscaya periwayatanya diterima
B.
Saran
Kita tidak boleh meneriam begitu saja penilain seorang
ulama’ terhadap ulama’ lainya, melainkan harus jelas dulu sebab- sebab penilain
tersebut, terkadang seorang yang menggangap orang lain cacat, malah ia sendiri
yang cacat, oleh sebab itu, kita tidak boleh menerima langsung suatu perkataan
sebelum ada yang mensetujuinya.